Selasa, 06 April 2010

KRITIS TRANSFORMATIF

Oleh: Tim Materi Konpida PW IPM Jateng
( Ahmad fanani, Diah Pranitasari, Dede Dwi K., Arum Dwi H.)


Refleksi Kritis Transformatif


  1. Refleksi Kritis-Transformatif

Hampir satu dasawarsa sudah IPM menegaskan diri sebagai gerakan kritis transformative. Enam tahun silam tepatnya pada Muktamar XIII di Bandar Lampung, Gerakan Krtis-Transformatif resmi di kukuhkan sebagai paradigm gerakan dalam menerjamahkan tujuan organisasi. Semanjak itu, segenap agenda organisasi tak lepas dari kerangka paradigm yang diadopsi dari rahim teori social ini, mulai dari tanfidz Mukatamar sampai materi pelatihan selalu dipenuhi wacana Kritis-Transformatif.

Pilihan paradigm Kritis Tarnasformatif dianggap sebagai pilihan yang paling tepat sebagai kaca mata organisasi (saat itu) di tengah pusaran arus globalisasi yang ditandai dengan demokratisasi di satu sisi sekaligus pragmatism di sisi lainnya. Dimotori dengan tebukanya akses kesempatan dan arus informasi global, fenomena ini hadir sebagai pedang bermata dua yang memberikan harapan sekaligus resiko (terutama) bagi kalangan pelajar. Karenanya dibutuhkan sebuah stratgi yang tepat untuk membentengi pelajar muslim agar tidak mudah terhegemoni budaya nir-moral dan tetap kritis memaknai realitas social disekitarnya, agar tetap lurus pada jalur menuju pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil.

Disampi itu, kritis Transformatif juga merupakan kontinum dari paradigm gerakan yang sebelumnya lebih menekankan achievement oriented dalam kerangka paradigm developmentlisme. Dalam kaca pandang developmentalis, sebab musabab berbagai permasalahan dipandang berakar dari kelemahan cultural, karakter diri yang lemah, dan kurang adanya achievement dan berbagai kekurangan dari dalam dirinya. Sementara paradigm kritis mamandang sebab structural sebagai akar dari berbagai masalah social yang muncul. Artinya dalam spectrum kritis, masalah social pelajar dimaknai sebagai akibat dari adanya ketidak adilan dalam relasi social yang mendasarinya, bukan besumber dari dalam diri pelajar semata. Singkatnya, paradigma kritis dibangun atas asumsi dasar kecurigaan pada struktur dan relasi social yang ada.

Dengan bertumpu pada tiga pondasi utamanya, yaitu: Penyadaran, Pemberdayaan, dan Pembelaan; Kritis transformative (secara nomatif) di harapkan bias memberikan daya hidup bagi IPM agar lebih progresif dalam memberikan alternative solusi bagi masalah dunia kepelajaran. Namun demikian secara praksis-empiris gerakan ini belum bias memberikan jawaban memuaskan atas berbagai permasalahan kepelajaran. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya beberapa factor yaitu, (1) selama ini transformasi GKT belum maksimal; (2) Nilai kesadaran kritis yang diidealkan menjadi bantalan vital GKT belum benar-benar terinternalisasi dalam segenap elemen organisasi; (3) Adanya pemahaman yang keliru yang menyebabkan implementasi keliru pula tentunya; (4) GKT yang dibangun atas kecurigaan pada relasi dan struktur social dan mengusung aksi perlawanan membawa konsekuensi adanya resistansi dari struktur mapan yang membwa resiko tersendiri bagi actor di dalam system.

Di Jawa Tengah sendiri, masih banyak kader di bumi grassroot (dan bahkan ditingakatan daerah) yang kurang memahami substansi dari GKT, bahkan tak sedikit (akui sajalah) implementasi agenda gerakan yang belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai yang diidealkan GKT. Senyatanya, diakui atau tidak, menjelang satu decade pengukuhan GKT, IPM belum bias sepenuhnya beranjak jauh dari devepmentalisme yang bertumpu pada pengembangan diri dan peningkatan kapasitas individu. Karenanya, tidak tepat bila mengukur keberhasilan GKT dari implementasi praksis yang belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai yang diidealkan.

Materi konpida IPM Jawa Tengah ini secara umum menyajikan pokok pikiran tentang, Identifikasi masalah; dan arah kebijakan IPM Jawa Tengah ke depan.


  1. Identifikasi masalah

  1. Lemahnya Nilai Kesadaran Kritis

Kesadaran kritis merupakan prasyarat yang menjadi tumpuan utama Gerakan Kritis Transformatif. GKT mengidealkan seorang individu yang mempunyai karakter utama sadar atas realita di sekitarnya, peka terhadap permasalahan social, yang di manifestasikan melalui aksi nyata yang mencerahkan. Karakter ini berlandaskan pada kesadran kritis sebagai bantalan vitalnya. Dalam hal ini, kesadaran kritis di interpretasikan sebagai proses berfikir yang didasarkan atas kesadaran. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran terhadap diri, realitas social dan mampu melakukan perubahan. Sadar diri merupakan hasil refleksi sebagai manusia yang memiliki visi kehambaan dan kekhalifahan, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Di Jawa Tengah nilai-nilai ini belum sepenuhnya terinternalisasi dalam diri segenap elemen gerakan sehingga perlu di gagas sebuah strategi yang tepat untuk mengatasinya.

  1. Rendahnya Budaya baca dan diskusi

Sudah menjadi rahasia umum bahwa indeks baca suatu mayarakat berbanding lurus dengan tingkat kemajuan peradabannya. Sebuah Negara maju, dihuni masyarakat yang rata-rata mempunyai indeks membaca yang terbilang tinggi. Lihatlah Jepang dan China sebagai contoh, betapa luar biasa kecintaan masyarakatnya terhadap aktivitas membaca. Maka tak heran jika Jepang dan China menjadi kiblat perkembangan teknologi mutakhir. Era kemajuan teknologi informasi menuntut setiap manusia untuk memacu diri setiap saat mengakses perkembangan informasi terkini jika tidak ingin tercecer diantara derap langkah peradaban. Memang tidak ada data akurat yang secara valid menunjukkan rendahnya budaya baca pelajar Muhammadiyah di Jawa Tengah, namun dari pengamatan tim materi, budaya iqro’ belum sepenuhnya terimplementasi padahal sudah hamper satu decade kita menggemakannnya.

  1. Minimnya Literasi yang memuat arsip gerakan

Buku merupakan abstraksi dari pengalaman baik empris maupun sekadar imaji penulisnya. Buku bias menjadi sarana yang efektif untuk mempercepat persebaran dan (atau) pertukaran ide kreatif penulisnya. Selain itu, ide, gagasan, pengalaman empiris, atau sekadar curhatan yang di tuangka dalam sebuah buku tidak hanya menjadi diskursus dimasanya, melainkan bias di akses sepanjang zaman oleh generasi selanjutnmya. Disinilah letak urgensitas ketersediaan litaresi yang memadai sebagai bahan pembelajaran organisasi sehingga tidak perlu ada pengulangan proses oleh sebuah generasi atas apa yang sudah dilakukan generasi sebelumnya. Selama ini, literasi yang memuat segala sesuatu tentang gerakan hanya ada pada tanfidz keputusan yang tentunya terbatas.

  1. Onani Intelektual

kemandegan transformasi idea tau lebih tepatnya arus transformasi ide kreatif, gagasan inovatif dan wacana actual gerakan yang kurang lancer seringkali membuat wacana actual gerakan tidak tersampaikan pada basis masa dan hanya berkutat pada tingkatan elit, sehingga ide hanya menjadi ide, gagasan hanya menjadi gagasan dan wacana tetaplah wacana yang akan menguap tanpa sempat memijak pada bumi aksi.

  1. Disorientasi ideology

Ideology merupakan nilai-nilai yang dipercaya dan menjadi arah orientasi dari organisasi. Dalam hal ini, ideology berfungsi sebagai simpul pengikat yang menyatukan segenap elemen dalam organisasi untuk memperjuangkan visi yang menjadi tujuan bersama. Sebagai sebuah ortom, ideology IPM tidak bias terpisah dari ideology Muhammadiyah sebagai organisasi induknya. Secara normative, Muhammadiyah seringkali dicitrakan sebagai Gerakan Tajdid (pembaruan) dan Purifikasi (pemurnian), namun belakangan orang semakin sulit menandai yang mana yang hijau, yang mana yang merah, kuning, rasanya segalanya menjadi serba abnu-abu. Agaknya hal ini menjadi efek dari menjamurnya media yang bias diakses semua orang, dalam hal ini, keputusan organisasi tidak hanya keluar dari satu pintu, bahkan tak jarang orang lebih memegang opini individu daripada keputusan resmi organisasi sehingga tampak jelas keberagamannya. Hal inilah yang menjadi slah satu factor utama abu-abuanisasi.

  1. Lemahnya Peran Media

Tidak bias dipungkiri bahwa media saat ini memegang peran strategis dalam mempengaruhi opini public. Media kontemporer tidak sekadar berperan sebagai penyalur informasi, melainkan juga berpengaruh besar dalam proses konstruksi realitas. Persepsi masyarakat atas realita saat ini sediklit banyak dipengaruhi oleh strategi framing yang dibangun media. Sayangnya, saat ini IPM Jateng belum punya sendiri yang bias menjadi wadah pertukaran arus informasi, ide, dan gagasan actual.



  1. Arah Kebijakan IPM Jateng

Hamper setengah abad sudah Ikatan Pelajar Muhammadiyah bergumul sebagai organisasi kepelajaran. Tentunya sudah berbagai manis-getir, hitam-putih sejarah dilaluinya. IPM bukanlah entitas yang hadir dan tumbuh dalam kevakuman budaya, IPM tumbuh dan berkembang dalam ruang dialektis sejarah yang tak sederhana.

Arah kebijakan Konpida Jawa Tengah 2010 tentunya tidak bias terlepas dari basis historitas yang dibangun periode sebelumnya, karenanya ada urgensitas tersendiri untuk memperhatikan pondasi kebijakan periode sebelumnya. Berikut kutipan arah kebijakan/sasaran umum IPM:

  1. Musywil XVI: Diarahkan pada mentradisikan kesadaran kritis dikalangan pelajar melaluipengembangan nilai-nilai advokasi, kaderisasi, danpenguatan infrastruktur

  2. Musywil XVII: diarahkan pada penguatan basis massa, dengan menjadikan ranting sebagai tumpuan utama sekaligus epicentrum gerakan; penguatan ideology dan Humanisasi Gerakan

  3. Musywil XVIII: diarahkan pada transformasi perubahan nomenklatur guna mewujudkan Gerakan pelopor advokasi pelajar yang berkemajuan

  4. Konpida 2010: diarahkan pada pengembangan komunitas sebagai upaya menghidupkan basis massa melalui program kreatif-inovatif yang berbasis pada potensi konstituen, Penguatan Karakter Gerakan, dan Humanisasi Gerakan

Penjelasan Arah Kebijakan KONPIDA 2010:

  1. Komunitas Sebagai strategi Pemberdayaan basis

Tak berlebihan Ikatan pelajar Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi pelajar terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Di Jawa Tengah saja, setidaknya ada 700.000 pelajar Muhammadiyah yang (secara otomastis) tercatat sebagai anggota IPM, terlepas dair aktif dan tidaknya., yang tersebar di 35 Pimpinan Daerah, 100 Pimpinan Cabang, dan 620 Pimpinan Ranting.

Potensi besar ini tentunya tidak bias dipandang sebelah mata, menjadi asset yang sangat berharga untuk agenda perbaikan kualitas sumber daya bangsa. Idelnya, potensi massa dalam kuantitas besar ini berimplikasi pada banyaknya kader yang dihasilkan.

Namun kenyataannya tidak secara otomatis berlaku demikian, meski sejak Musywil XVII di Pekalongan telah di gemakan agenda penguatan basis, namun belum sepenuhnya terimplementasikan secara maksimal. Karenanya, dibutuhkan sebuah strategi tepat guna yang bias (secara konstan) menghidupkan ranting.

Agenda pengembagan komunitas bertumpu pada potensi yang melekat pada diri kader. Kader yang memiliki potensi tertentu akan di fasilitasi dalam kelompok tertentu yang sesuai dengan minat dan bakatnya melalui strategi yang tepat untuk selanjutnya dikembangkan menjadi kemampuan unggul. Komunitas ini dikelola oleh bidang yang bergerak pada masing, masing lahan garapnya. Misalnya, PIP mengelola Komunitas Pena, Komunitas gemar Baca, Komunitas Jurnalis Pelajar, dll; sementara ASBO bias mewadahi Komunitas pecinta Musik, Komunitas Teater, Futsal, Badminton, dll.

Dengan idealita pengembangan potensi kader berdasarkan minat dan bakat yang melekat pada dirinya, agenda pengemangan komunitas diharapkan bias menjadi jawaban yang bias memberikan daya hidup bagi ranting sebagi basis massa gerakan.


  1. Penguatan Karakter

Fenomena Pos-modernisme yang ditandai dengan gejala memudarnya batas ketegasan nilai dan norma social mengkonstruksi sebuah fenomena baru menuju kultur nir-fondasi. Realita mutakhir zaman ini dihadapkan pada sebuah kondisi dimana nilai komunal semakin abstrak, ketegasan ideology semakin memudar, dan segalanya serba abu-abu dalam kemasan pragmatisme. Fakta empiris menunjukkan betapa susahnya mengidentifikasi karakter sebuah organisasi saat ini.

Hal ini antara lain disebabkan sindrom pragmatism yang menjangkiti segenap elemen termasuk pelajar kecuali mereka yang masih istiqomah. Serbuan pragmatism makin terasa dan memebentuk semacam endemic global di hamper semua lini kehidupan. Serangan pragmatism yang menghalalkan segalanya demi kepentingan sekaligus keuntungan instan ini melemahkan loyalitas individu atas visi bersama (baca ideology)).

Selain itu, factor lain yang turut mendukung ambruknya simpul penyatu ini antara lain pengaruhi akses media yang semakin terbuka yang seringkali menampakkan secara telanjang faksi internal di sebuah organisasi, sehingga tampak gamblang perbedaan yang muncul dan terblow up kepada massa. Informasi yang sampai ke massa di basis terendah bukan sekadar keputusan resmi yang menjadi kesepakatan organisasi, meliinkan juga opini pribadi mereka yang pandangannya tidak terakomodir, sehingga masyarakat awam kadang menangkap awam perbedaan ini sebagai alternative, dan menjadi semacam pembenaran untuk tidak melaksanakan keputusan resmi yang menjadi kesepakatan bersama.

Tantangan realita mutakhir ini menghadirkan urgensitas tersendiri bagi IPM untuk merapatkan barisan, menegaskan karakter gerakan kedalam simpul identitas yang kuat -yang membedakan (secara tegas) dengan gerakan lainnya-, yaitu ideology organisasi. Ideology merupakan landasan pijak yang mendasari segenap aktivitas gerakan dan menjadi cita-cita bersama, dalam hal ini adalah mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya.

Sebagai ortom Muhammadiyah maka secara logis ideology IPM tidak bias di lepaskan dari ideology Muhammadiyah. Dalam hal ini, IPM memposisikan diri sebagai ujung tombak Muhammadiyah dalam melaksanakan misi dakwah amar makruf nahi munkar dalam domain pelajar. Ideology Muhammadiyah sendiri secara umum identik dengan misi Tajdid (pembaharuan) dan purifikasi (pemurnian). Pembaruan dimaknai sebagai upaya menerjemahkan nilai-nilai ajaran islam agar adaptif terhadap peubahan zaman, dengan kata lain, menerjemahkan wahyu langit untuk menjawab problematika di bumi realita actual. Sementara agenda pemurnian dipahami sebagai upaya untuk menjaga kemurnian ajaran Islam yang bersumber pada Qu’an dan hadist.

Dengan keteguhan komitmen dan konsistensi sikap pada ideology sebagai simpul gerakan ini, bukanlah sesuatu yang sulit untuk menjadikan IPM sebagai gerbong perubahan sekaligus pelopor gerakan pelajar yang mencerahkan.


  1. Pemanfaatan Media

Dewasa ini media semakin memegang peranan penting dalam kehidupan, tak terkecuali pelajar. Aktivitas media dalam melaporkan peristiwa sering memberi dampak signifikan bagi persepsi public atas realita yang di beritakan. Bahkan, seringkali media bukan saja sekadar menjadi sumber informasi, melainkannjuga factor pendorong terjadinya perubahan. Diakui atau tidak, media dalam dunia modern menjadi sarana yang efektif untuk mendorong lahirnya perubahan(minimal opini publik).

Banyak aspek yang membuat media penting dalam kehidupan. Pertama, daya jangkaunya yang sangat luas dalam menyebar-luaskan informasi; Kedua, media mempunyai kemampuan melipat gandakan pesan, juga bias di ulang pemberitaannya, sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar di tengah khalayak. Ketiga, pemberitaan peristiwa oleh media lazimnya berkaitan dengan media lainnya membentuk rantai informasi.

Jika IPM mengidealkan dirinya sebagai agen perubahan melalui gerakan advokasi yang digagasnya, maka ada urgensitas tersendiri untuk membangun jaringan media sebagai alat untuk menyebarluaskan pandangan, agenda, dan sikap gerakan atas suatu isu sekaligus mempengaruhi pendapat umum. Dalam agenda advokasi, pendapat dan dukungan umum sangat signifikan diperlukan untuk menginisiasi lahirnya sebuah perubahan.

Terlepas dari itu, di tengah derasnya arus pertukaran informasi melalui berbagai ruang public yang melimpah sekarang ini, IPM Jawa Tengah sampai hari ini belum memiliki media yang bias menjadi ruang public dimana didalamnya dimungkinkan pertukaran informasi, ide, dan gagasan actual. Karenanya, penting rasanya untuk secara kreatif dan inovatif mengisiasi dan mengelola media yang secara khusus membahas dunia kepelajaran Muhammadiyah Jawa Tengah.


  1. Humanisasi Gerakan

Sejatinya wacana humanisasi gerakan pernah digagas dalam Musywil Pekalongan, hanya saja ada urgensitas untuk menekankan kembali dengan tantangan realitas kontemporer. Humanisasi didasarkan atas asumsi bahwa manusia adalah makhluk merdeka yang diilhami misi kekhalifahan untuk menkreasi kehidupan yang harmoni di muka bumi ini. Islam sendiri merupakan agama yang sangat humanistic, yakni agama yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Namun semangat humanism islam bukanlah humanism sekularistik-agnostik, tetapi humanism yang dibingkai oleh nilai-nilai ketuhanan, yakni Tauhid. Sebab, tauhid merupakan inti dari ajaran kenabian. Dengan pemaknaan tersebut, Islam memiliki ciri ajaran yang Humanis-teosentrik, yakni bagaimana menerjemahkan nilai-nilai ketuhanan dalam kemanusiaan. Dengan demikian, setiap muslim sejatinya mengemban misi untuk mewujudkan eksistensi Tuhan untuk menyelesaikan problem kemanusiaan.

Untuk mewujudkan misi ini, prasyarat utamanya adalah bahwa manusia harus pertama, memerdekaan dirinya sendiri dari segala belenggu dan ketertindasan untuk kemudian membebaskan manusia dan segenap makhluk lain dari ketertindasan.

Misi kekhalifahan dipahami bahwa dalam diri setiap muslim melekat tanggung jawab moral-sosial untuk mewujudkan surga dimuka bumi (baca masyarakat madani) atau dalam bahasa IPM mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya.

Untuk mewujudkannya (dalam perspektif Paradigma Kritis), dibutuhkan struktur yang mendukung sepenuhnya misi ini sebab tidak bias dipungkiri bahwa usaha untuk memerdekakan manusisa dalam segala aspeknya tak jarang menghadapi tantangan yang tak mudah dari struktur social yang terlanjur mapan. Oleh karenanya, misi mewujudkan Islam yang sebenar-benarnya, meliputi dua dimensi:

  1. Peningkatan Kapasitas SDM

Kekurangan GKT selama ini adalah adanya kekeliruan interpretasi yang menganggap bahwa dengan cara pandang yang strukturalis, GKT hanya focus pada aspek ketertindasan dan pengebirian hak pelajar yang disebabkan oleh factor ekstrogen(diluar dirinya) dan dengan demikian menafikan segenap aspek cultural dan peningkatn kapasitas individu, shingga tak jarang GKT menghadapi ketegangan dan sinisme dari pihak yang tak memahami sepenuhnya paradigm ini.

Sementara opini public meyakini bahwa dunia pelajar (pendidikan) adalah proses untuk meningkatkan kapasitas, pembentukan kedirian, melalui pembangunan kesadaran diri. Aspek inilah yang selama ini tidak (secara tegas) diakomodir dalam kerangka idealita oleh GKT, sementara pada implementasinya hal-hal ini yang berlaku, jadi seolah ada kesenjangan antara aspek idealita dan praksisnya.

Terlepas dari itu, peningkatan kapasitas diri perlu dalam artian untuk membentuk kader pelopor yang bias menjadi agen terdepan dalam menginisiasi perubahan menuju kehidupan yang lebih beradab. Dalam hal ini, dimensi ini diakomodir dalam komunitas yang diwadahi dalam bidang internal dalam hal ini PIP, ASBO, dan SDI.

  1. Perbaikan Struktur dan Relasi Sosial

Sebagaimana disinggung diawal, dalam spectrum paradigm kritis, masalah social muncul bukan sekadar berakar dari factor indogen(dari dalam diri), melainkan sangat dimungkinkan karena adanya ketegangan relasi dan ketimpangan struktur social yang melingkupinya. Atas pemahaman ini, upaya mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya tidak bisa di realisasikan masih ada actor dan struktur yang tidak mendukung pembentukan pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil.

Karenanya, upaya mewujudkan cita-cita luhur tersebut juga mesti diiringi dengan usaha memperbaiki relasi dan struktur social yang timpang menuju relasi dan struktur yang berkeadilan dan beradab melalui upaya penyadaran baik korban maupun pelakunya. Aspek ini diakomodir dalam bidang eksternal dalam hal ini Advokasi yang bergerak berdasarkan Isu.