Rabu, 07 April 2010

Perwalian


oleh: DIAH PRANITASARI



PERWALIAN (HADHONAH)1



I.PENDAHULUAN
Berbagai masalah dan kesulitan dalam penyelesaian baik pada tahapan pemeriksaan apalagi saat pelaksanaan eksekusinya, karena sampai saat masalah eksekusi putusan anak masih ada perselisihan dimana ada ahli hukum yang berpendapat anak tidak dapat dieksekusi sedangkan ahli hukum yang lain putusan perwalian dapat di eksekusi2. Dalam makalah ini kami akan menyampaikan beberapa penjelasan tentang perwalian atau hadhonah beserta kompulasi hokum Islamnya.

II.PEMBAHASAN
Dalam ketentuan umum pasal 1 komilasi huruf h dikemukakan , perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seeorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hokum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hokum. Dengan demikian wali adalah orang yang diberi kewenangan untuk melakukan perbuatan demi kepentingan anak yang tidak memiliki kedua orang tua, atau karena kedua orang tuanya tidak cakap melakukan perbuatan hokum. Ada beberapa hokum. Ada beberapa ayat yang dapat dirujuk untuk menjelaskan keberadaan wali
“dan ujilah anak yatim itu cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah pada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anka yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu tergesa-gesa membelanjaknanya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim) itu dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia memakan harta itu yang patut, kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka . dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu)(Al-Nisa’:6).
Kutipan ayat diatas menunjukkan peran, kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang dibawah perwaliannya. Untuk mengetahui secara lebih rinci, kita kemukakan penjelasan dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Dalam Bab XI pasal 50 sampai dengan pasal 54 diatur tentang perwakilan.
Pasal 50:
(1)Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melanhsungkan perwakilan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2)Perwalian itu mengenai pribadi anak yang berlangsung maupun harta bendanya.
Pasal 51:
(1)Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankaan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 oarang saksi.
(2)Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang tua yang sudah dewasa berfikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3)Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4)Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya itu pada waktu memulai jabatanya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5)Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Memperhatikan bunyi pasal 50 dan 51 tersebut, yang perlu diperhataikan adalah, meskipun penunjukan melalui surat wasiat atau lisan sifatnya pilihan yang tidak bersifat imperative, hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang dapat mempunyai kekuatan hokum atau akta otentik3. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan anak. Sejalan dengan kaidah:
“Menghindari kerusakan didahulukan daripada memperoleh manfaat”.
Dalam pasal 51 ayat (2) dianjurkan agar penunjukkan wali diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain yang berkelakuan baik, didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw.:




Sesungguhnya Nabi Saw. Memutuskan (wali) bagi anak perempuan Hamzah kepada saudara perempuan ibu (khalah)nya,dan beliau bersabda:” saudara perempuan ibu (menempati) kedudukan ibu” (HR. Bukhari)
Dalam kompilasi hokum Islam, masalah perwalian diatur dalam pasal 107 sampai dengan pasal 112, yang secara garus besar mempertegas ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan.
Pasal 107:
(1)Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai mur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2)Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3)Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaiannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4)Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berfikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik atau badan hokum.4
Pasal 109:
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hokum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau ana-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Apabila dipehatikan secara teliti, ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam memang lebih tegas daripada dalam Undang-undang Perkawinan, karena dalam Kompilasi Hukum Islam konsennya adalah bagi orang Islam. Maka petunjuk Pengadilan Agama dilibatkan dalam menyelesaikan masalah yang timbul akibat dari perwalian adalah dalam rangka kepastian hokum.
Alasan lain daripada penunjukan wali, termasuk wewenang untuk mengalihkan barang kekayaan anak yang berada dalam perwaliannya, hanya diperbolehkan apabila kepentingan anak menghendakinya. Apabila dalam kenyataannya, wali yang ditunjuk tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, atau dengan indikasi-indikasi tertentu kelihatan beriktikad tidak baik, maka hak perwaliannya dicabut.prosedur dan tata caranya dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada prngadilan atau Pengadilan Agama untuk mencabutnya.
Pasal 53
(1)Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 undang-undang ini.
(2)Dalam hal kekuasannya seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebgai wali.
Dalam kompilasi pasal 53 tersebut dikuatkan dalam pasal 109:
Pengadilan agama dapat mencabut hsk perwalian seseorang atau badan hokum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,penjudi , pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada dibawah perwaliannya.
Selanjutnya mengenai rincian tugas dan kewajiban wali terhadap diri dan harta benda anak yang dibawah perwaliannya, dijelaskan dalam pasal 110 Kompilasi:
(1)Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada dibawh perwaliannay dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agar, pendidikan dan keterampilannya untuk masa depan orang yang berada dibawah perwaliannya.
(2)Wali dilarang mengikatkan , membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
(3)Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4)Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat 4 undang-undang No.1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun sekali.
Perwalian seseorang berakhir, apabila anak yang dibawah perwaliannya telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin. Karena umur 21atau telah kawin dianggap bahwa telah mampu hidup mandiri. Menurut bahasa alquran sebenarnya tidak ada penegasan secara definitive tentang batas usia. Hanya ayat alQuran (al-Nisa’,4;6) menegaskan agar sebelum harta bbendanya diserahkan, anak tersebut diuji kecakapannya. Tentang pembatasan atau berakhirnya perwalian dalam kompilasi dinyatakan dalam pasal111:
(1)Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada dibawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
(2)Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada dibawah perwaliannya tentang harta yang diserhkan kepadanya.

III. KESIMPULAN
1.Tidak menjadi syarat/imperatif anak yang dipersegketakan di hadirkan kepersidangan untuk menentukan pilihannya ikut ibu atau ayahnya karena pilihan anak tersebut dapat dilakukan melalui surat pernyataan yang ditandatanganinya.
2. Hak memilih anak yang disengketakan oleh ibu atau ayahnya tetap harus diberikan, namun tidak menjadikan serta merta kita mengambil alih pilihannya dalam kaitan ayah atau ibunya berbeda keyakinan, karena aqidah adalah sebagai ukuran penentu kelangsungan atas keberlakuan hak hadhonah tersebut atau menjadi gugur karenanya.
3.Mumayyiz atau belum mumayyiz seorang anak lebih ditentukan oleh tingkat kecerdasannya anak tersebut, karenannya kita dapat memberikan hak pilih dalam mentukan siapa yang berhak mengAsuh dintara ibu atau ayahnya yang bercerai bagi anak yang belum berumur 12 tahun hanya setelah ada rekomondasi dari psikologi.

III.PENUTUP
Demikianlah beberapa hal hadhonah yang sering kita temui dalam praktek yang terkadang kasusnya sangat komplek dan cukup luas jangkauannya yang sekarang telah disepakati perkara ini tidak mengenal lagi nebis en idem, karena itu kita harus cermat dan berhati-hati dalam memutuskan. Dari itu dalam penyelesaian masalah hadonah itu tidak hanya mengacu kepada ketentuan perundang-undangan saja, melaikan harus memperhatikan nilai-nilai dari hukum dalam masyarakat, kaidah-kaidah agama, lingkungan dari ayah dan ibu yang akan diberi hak hadhonah serta aspek lain demi kemaslahatan diri anak yang akan menjadi asuhannya.


IV. DAFTAR PUSTAKA

1.Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
2.Idris Ramulyo, Muhammad. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara: Jakarta