Jumat, 23 Januari 2009

Hubungan Manusia dan Tuhan Perspektif Islam

Juli 2, 2008

IDRUS AQIBUDDIN

PROLOG

Al-Qur’an adalah pengantar Kitab Allah SWT. yang diwahyukan kepada Rasul-Nya terakhir Muhammad saw, untuk memberi pedoman atau prinsip hidup kepada seluruh umat manusia sepanjang masa, yang menjamin akan mendatangkan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an mengkokohkan kebenaran-kebenaran yang pernah diwahyukan kepada para Rasul sebelumnya dan menjadi tolok ukur kebenaran ajaran kitab-kitab Allah sebelumnya. Dalam beberapa hal, Al-Qur’an mengganti ajaran-ajaran yang berlum pernah diajarkan di dalam kitab-kitab sebelumnya. Bahkan, Al-Qur’an memberikan koreksi terhadap kekeliruan-kekeliruan yang dialami oleh ummat beragama yang terdahulu dalam memahami ajaran-ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah, atau kekeliruan-kekeliruan yang berasal dari konsep manusia.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang pertama kali diwahyukan, ketika Nabi Muhammad saw, sedang menyendiri (Tabannuts) di Gua Hira’, pada bulan Ramadhan ketika usia beliau mencapai 40 tahun (610), hanya terdiri dari 5 ayat, yang kemudian tercantum di dalam Al-Qur’an surat surat Al-‘Alaq ayat 1-51. lima ayat yang pertama kali diwahyukan itu berisi ajaran-ajaran dasar tentang Tuhan dan Manusia2.

Ayat pertama berisi penegasan tentang yang berhak diyakini sebagai Tuhan yaitu yang telah menciptakan alam semesta. Keteraturan alam dan keseragaman hukum-hukum alam, menunjukkan bahwa Tuhan yang menciptakannya hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Bagi alam semesta hanya ada satu Tuhan.

Ayat kedua berisi penegasan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dalam proses kejadiannya didalam rahim ibu pernah berupa semacam ‘Alaq (semacam gumpalan darah yang bergantung atau bersarang pada dinding rahim). Ayat yang ketiga berisi tentang penegasan bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta, termasuk manusia, adalah Maha Pemurah.

Ayat keempat berisi tentang penegasan bahwa (diantara kepemurahan Tuhan yang menyertai ciptaan manusia ialah) Dia telah mengajarkan dengan pena. Manusia diciptakan dengan persiapan-persiapan yang akan dapat menggunakan pena sebagai alat tulis baca, guna menyatakan perasaan dan buah pikirannya kepada sesama. Dan ayat kelima berisi penegasan tentang bahwa dengan kemampuan menggunakan pena sebagai alat tulis baca itu, Tuhan mengajarkan manusia banyak hal yang semula tidak diketahuinya.

BAHASAN

  1. Batasan Manusia

Bagaimanakah sifat manusia dan seberapa besar potensi yang dimiliki manusia untuk berkembang adalah beberapa pertanyaan penting tentang manusia. Tentu saja pertanyaan itu paling tepat apabila diarahkan kepada siapa yang menciptakan manusia. Allah Azza wa jalla adalah tempat bertanya, karena Dialah sang Pencipta manusia (The Human Creator). Apa yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist adalah jawaban Allah SWT, tentang apa, siapa dan bagaimana sesungguhnya manusia itu.

Proses Penciptaan Manusia.

  1. Penciptaan Ruh

Kapankah Ruh diciptakan? Berdasarkan pendapat yang dominan, sebagaimana disebutkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam buku Al-Ruh li Ibnul Qayyim berdasar beberapa hadist Nabi, Ruh diciptakan setelah penciptaan Adam di surga. Diisyaratkan dalam beberapa hadist bahwa ditangan Allah terdapat bermilyar-milyar ruh (calon) manusia. Manakala Allah mengusapkan tangan kanan dan tangan kiri-Nya ke punggung Adam, maka keluarlah ruh-ruh manusia itu. Sesudahnya Allah mengumpulkan mereka dan menanyai mereka. “Benarkah Aku Tuhan Kalian? Ruh-ruh manusia menjawab. ’Benar Engkau Tuhan kami’. Kami bersaksi”: Dalam Qur’an Surat Al-A’raaf; 172 yang artinya “Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbinya dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab; Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”

Di dalam kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik menyampaikan bahwa pada suatu ketika Umar bin Khatab pernah ditanya tentang ayat, Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka. Maka Umar bn Khatab menjawab: aku pernah mendengar Rasulullah ditanya tentang ayat ini, lalu beliau menjawab: ”Allah menciptakan Adam kemudian mengusapkan tangan Kanan-Nya ke sulbi Adam, hingga dari sana keluar anak-anak keturunannya”.

Bahwa ruh yang ada dalam diri manusia merupakan Ruh Ilahi (The Spirit of God). Hanya manusialah makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat Ruh Ilahi. Dengan ruh adanya ruh-Nya ini manusia memiliki potensi ketuhanan dalam dirinya. Maksudnya, dalam diri manusia melekat sifat-sifat dasar atau potensi-potensi dasar sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Allah.

Tentang Ruh ini, Allah berfirman bahwa manusia hanya memiliki pengetahuan yang jumlahnya sedikit.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Penjelasan bahwa manusia memiliki ruh-Nya mengisyaratkan bahwa manusia telah memiliki unsur yang memungkinkan dirinya menyadari keberadaan Allah SWT3, dan karenanya menjadikannya tunduk dan patuh kepada Allah, selalu menjaga kesucian tauhid atau persaksian terhadap keesaan Allah.

  1. Penciptaan Jasad

Mengenai hal fisik-material di bumi, manusia diciptakan (hidup), terdapat manusia laki-laki dan manusia perempuan.

Hai manusia, sesungguhnnya kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan perempuan (QS. Al-Hujurat:13)

Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur (Nuthfah Amsyaj) yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al-Ihsan, 76:2)

Secara Badani (Jasad, Jism), awal kehidupan fisik manusia ditandai oleh hubungan seksual antara aki-laki dan perempuan. Diantara 200-300 juta sel sperma itu sekitar 400 diantaranya mencapai sel telur4. Jadi sel sperma itu harus bersaing satu sama lain. Hanya satu yang dipilih Allah untuk menjadi pemenang. Yang menjadi pemenang akhirnya bertemu dengan sel telur untuk melakukan pembuahan. Disinilah dimulai kehidupan fisik manusia.

  1. Ruh di Tiupkan ke Jasad

Menurut ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas, saat calon bayi dalam rahim berusia 120 hari, Allah SWT dengan kekuasaan-Nya meniupkan ruh-Nya ke jasad manusia. Maka untuk pertama kalinya menyatulah ruh dan jasad. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagaimana dikutip Muhammad Ali Akbar, pernah menyampaikan bahwa sebelum peniupan ruh, embrio telah memiliki gerakan atau persepsi. Ia mengandaikan gerakan embrio sebelum disatukan ruh seperti gerakan tanaman yang sedang tumbuh. Gerakan dan persepsinya tidak sadar. Ketika ruh ditiupkan ke jasad, gerakan dan persepsi menjadi sadar. Pada minggu ke-16 ibu hamil mulai merasakan tendangan anak yang ada dalam kandungan.

Sesudah peniupan ruh, Allah memerintahkan malaikat untuk menulis takdrnya diantara dua matanya. Hal ini secara jelas disampaikan hadis Nabi Muhammad. Nabi Muhammad bersabda: “Ketika Tuhan meniupkan ruh ke dalam jasad, malaikat yang mengurusi rahim bertanya; ‘Ya Tuhan, apakah anak laki-laki atau anak perempuan? Dan Tuhan menentukan apa yang dikehendaki-Nya. Maka malaikat menulis diantara kedua matanya apa saja yang akan dihadapi dalam hidupnya.”

  1. Batasan Tuhan (Allah SWT)

Manusia diciptakan Allah SWT, dengan tujuan yang mulia dan sama sekali bukan untuk main-main (QS. Ali Imran, 3:191, QS. Shaad,38: 27). Allah menciptakan manusia, tidak lain adalah agar manusia mengabdikan hidup kepada-Nya. Allah berfirman adalam Al-Qur’an:

Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi (beribadah) kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat,51: 56)

Allah SWT, Sang Pencipta Manusia (The Human Creator), menghendaki agar kehidupan manusia di dunia ini diarahkan untuk mengabdi pada-Nya. Untuk mewujudkan kehendak-Nya itu, Allah telah menancapkan dalam diri manusia kesediaan untuk menyembah-Nya atau meng-Esakan-Nya(QS. Al-A’raaf, 7: 172), yang secara implisitberisi kesediaan tunduk kepada-Nya. Dalam dimensi diri manusia yang paling dalam, dimensi ruh, tertanam keyakinan bahwa Allah-lah pusat kehidupan atau tempat berpaling bagi manusia. Agar dasar-dasar yang terbentuk dalam diri manusia itu terpelihara, maka Allah memberikan bimbingan dengan teks (dalam hal ini Al-Qur’an). Bagaimana dasar-dasar keimanan kepada Allah dalam diri manusia tersebut diamankan atau diwujudkan dalam kehidupan aktual manusia. Bimbingan Tuhan melalui kitab suci adalah cara yang digunakan Tuhan agar manusia selalu dalam posisi selalu mengembangkan sifat-sifat asalnya dalam bentuk mengabdikan hidup kepada-Nya.5

Beribadah kepada Allah dalam artian luas adalah melaksanakan hidup sesuai pedoman dan petunjuk Allah yang telah disampaiakn kepada ummat manusia dengan perantar rasul-rasul-Nya. Rasul-rasul Allah diutus dengan silih berganti, sejak Nabi Adam AS hingga yang terakhir Nabi Muhammad saw. Pedoman dan petunjuk Allah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad merupakan tahapan terakhir dari pedoman dan petunjuk-Nya yang diperuntukan bagi seluruh umat manusia sepanjang masa.6

  1. Hubungan Manusia dan Tuhan

Hubungan manusia dalam hal pengabdian (Ibadah) kepada sang Pencipta itu diwujudkan agar manusia selalu berada dalam posisi mengabdikan diri kepada Sang Pencipta, ada dua tujuan hidup yang harus dilakukan manusia.

  1. Abdullah

Manusia menjadi ‘Abdullah atau manusia beribadah (mengabdi) kepada-Nya. Ibadah dapat diartikan sebagai wujud penyerahan total kepada Allah dengan melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya. Dalam pengertian sempit, beribadah adalah melakukan aktifitas-aktifitas ritual yang dilakukan degan penuh hikmat dan pemahaman, seperti Shalat, Zakat, Puasa, Haji, Dzikir. Dengan melakukan perintah-perintah Allah berupa Ibadah, diharapkan manusia memiliki kecenderungan untuk memiliki kepedulian terhadap lingkungan sosial.

Semua Ibadah, yakni Sholat, Puasa, Zakat Haji dan sebagainya memiliki implisit sosial. Menurut Ismail R. Al-Faruqi dalam bukunya Tauhid, penyangkalan terhadap atau kelemahan dari, dimensi tersebut secara Ipso Facto membuat ritus-ritus itu menjadi batal. Misalkan, Haji yang berhasil akan mengantarkan pelakunya menjadi haji mabrur. Kemabruran seorang pelaku ibadah Haji, menurut Nurcholis Madjid dapat diketahui dari aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukannya sesudah pelaksanaan Ibadah Haji. Bila ia menjadi lebih peduli dan memiliki kesediaan untutk membantu orang-orang yang ada sekelilingnya, maka ia memiliki tanda sebagai Haji Mabrur.

  1. Khalifah

Manusia menjadi khalifah (pemimpin) di bumi, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, 2: 30)

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah dimuka bumi

Allah hendak menjadikan Khalifah di muka bumi, menurut M. Dawam Raharjo, khalifah adalah fungsi manusia yang mengemban amanat dari Tuhan (QS. Al-Ahzab, 33: 72). Apakah amanat Tuhan kepada Manusia? Tidak lain adalah memberikan pelayanan terhadap sesama makhluk denfan menyabarkan kasih sayagn terhadap sesama (Rahmatan lil-‘alamiin) dan ber-amar ma’ruf nahi munkar.

Hanya manusia –dan bukan makhluk lain- yang bersedia dan memiliki kemampuan untuk merealisasikan amanat sebagai wakil Tuhan. Tentang kesediaan manusia menerima amanat ini digambarkan oleh Al-Qur’an bahwa langit, gunung dan bumi menolak amanat itu, namun manusia menerimanya.

Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan di pikullah amanat itu oleh manusia” (QS. Al-Ahzab, 33: 72)

Menurut Ismail R. Al-Faruqi, syarat agar manusia dapat merealisasikannya adalah dengan kemerdekaan atau kebebasan. Manusia memiliki kemungkinan melaksanakannya atau tidak melaksanakannya, atau justru melakukan yang sebaliknya, atau melakukannya dengan setengah-setengah. Apabila manusia dapat melakukannya dengan baik, maka ia mengukuhkan dirinya sebagai makhluk yang berderajat paling tinggi diantara makhluk-makhluk yang berada di alam semesta ini. Rasul dan Nabi adalah contoh-contoh figur manusia yang mampu membuktikan kualitasnya sebagai khalifah dibumi dengan melakukan amanat sebaik-baiknya. Para orang-orang yng bersifat antagonis terhadap ajaran Rasul dan Nabi (Misalnya, Fir’aun, Qarun, dan sebagainya) adalah figur-figur yang telah tercatat sebagai khalifah di bumi yang gagal memenuhi amanat dari Tuhan.

Manusia sebagai makhluk pengemban amanah. Sebagai makhluk berkehormatan dan mempunyai kelebihan di atas kebanyakan makhluk Allah lainnya, manusia dipersiapkan untuk mengemban amanah (QS. Al-Ahzab:72). Diantara amanat yang diembankan kepada manusia ialah untuk memakmurkan kehidupan di bumi (QS. Hud: 61). Demikian tinggi kedudukan manusia di hadhirat Allah, Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah-Nya di bumi (QS. Al-Baqarah: 30)

Sebagai mahkluk pengemban amanah Allah, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah Allah. Dari sini dapat dirumuskan bahwa manusia pada hakikatnya adalah “makhluk pengemban amanat yang bertanggungjawab”. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang tidak memerlukan penjelasan panjang. Hidup kita sehari-hari penuh dengan pengalaman-pengalaman yang menunjukkan bahwa sesungguhnya banyak hal yang terjadi pada manusia bukan berasal dari manusia sendiri. Menjadi laki-laki atau perempuan, memiliki bentuk badan dan rupa yang berbeda , berumur panjang atau pendek, kapan dan dimana seseorang akan meninggal, semuanya bukan hak yang dapat dipastikan terjadinya atas keinginan dan usaha manusia sendiri.

Manusia akan dimintai pertanggungjawabannya atas amanat yang dibebankan kepada Allah kelak diakhirat. Tanggungjawab manusia bersifat individual. Setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukannya (QS. Ath-Thur: 21). Orang tidak dibebani dosa orang lain (Al- An’am: 164). Orang hanya akan memerik hasil amal perbuatan yang dilakukan sendiri (QS. An-Najm: 39).

Meskipun demikian, dimungkinkan orang ikut diminta bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan orang lain, yakni jika orang berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan yang dilakukan orang lain itu.7

PENUTUP

Manusia sebagai makhluk pengemban amanat Allah berfungsi terhadp Allah. Fungsi manusia terhadap Allah bertumpu pada ajaran yang menegaskan bahwa Jin dan Manusia diciptakan Allah agar mereka beribadah (mengabdi) kepada-Nya.

Seluruh umat manusia diperintahkan untuk menganut agama Allah yang telah paripurna itu, sebagaimana ditegaskan didalam Al-Qur’an surat Al-A’raf: 158. Fungsi manusia terhadap Allah menuntut agar manusia memenuhi perintah Allah tersebut. Meskipun demikian, karena akhirnya kelak manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah,manusia diberi kebebasan untuk menerima (mukmin) atau menolak agama Allah yang telah paripurna itu. (QS. Al-Kahfi: 29) Tetapi diperingatkan, bahwa orang yang menganut agama selain Islam yang telah paripurna itu akan tergolong orang-orang yang mengalami kerugian, karena agama selain Islam tidak akan diterima Allah (QS. Al-Imran: 85).

Agama Allah yang telah paripurna mengajarkan ‘Aqidah secara jelaws dan tuntas. Ber-Tuhan hanya kepada Allah, sebab hanya Allah sajalah yang berhak diyakini sebagai Tuhan. Ber-Tuhan hanya kepada selain Allah berarti mempersekutukan Allah dengan yang lain. Beribadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Cara melaksanakan ibadah yang telah diatur secara rinci di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah wajib ditaati tanpa perubahan, tambahan dan pengurangan.

Berakhlak atas dasar nilai-nilai yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Tidak dibenarkan menentukan sendiri nilai akhlaq yang sifatnya relatif, situasional, kondisional. Bermu’amalah pun dilakukan sesuai dengan pedoman, petunjuk dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Manusia dibenarkan menentukan brbagai macam cara bermu’amalah, sepanjang tidak terdapat ketentuan-ketentuan secara jelas di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah. Tetapi harus tetap berpedoman pada nilai-nilai dasar Al-Quran-Al-Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

  • AL-Qur’anul Karim. “Al-Qur’an dan Terjemahannya”. Departemen Agama R.I

  • Djumhan, Bastaman, Hanna. “Integritas Psikologi dengan Islam (Menuju Psikologi Islam)”. Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1997.

  • Makalah, Azhar Basyir, Ahmad. “Mengungkap Fitrah Manusia dalam Agama Islam”.

  • _______, Raharjo, Dawam. ”Pandangan Al-Qur’an Tentang Manusia”.

  • Nashori, Fuad. “Potensi-potensi Manusia (Seri Psikologi Islam)”. Pustaka Pelajar, 2003

1 Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Hal. 1079

2 Ahmad Azhar Basyir, M.A. dalam makalah seminarnya tentang Fitrah Manusia dalam Perspektif Agama”. Disampaikan di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta. …… mengungkapakan bahwa proses manusia dalam surat Al-‘Alaq, manusia adalah ciptaan Tuhan yang dalam proses kejadiannya ada dalam rahim ‘Alaq. Setelah pemrosesan manusia dan ditiupkan roh, maka diturunkan ke dunia dalam keadaan ketidakpahaman dan kemudian diberilah manusia itu dengan persiapan-persiapan didunia yakni Pena sebagai alat tulis dan baca agar memahami dan menyatakan perasaan dan buah pikirnya semua ciptaan Tuhan alam semesta.

3 Prof. Drs. M. Dawam Raharjo, Pandangan Al-Qur’an Tentang Manusia, Hal.18

4 Editor; Mukhatib MD. “Pesantren Mengkritisi KB dan Aborsi”. Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) Yogyakarta. Hal. 6

5 M. Dawam Raharjo, Hal 9-10

6 Editor; Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar.” Pendidikan dalam perspektis Al-Qur’an”. Hal 11

7 Ahmad Azhar Basyir, M.A. Hal. 10


Pendidikan Profetik Versi Kuntowijoyo

Juli 2, 2008

PENDAHULUAN

Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi, dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan ummat Islam, baik pada dataran intelektual teoritis maupun praktis.

Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi (Syafi’i Ma’arif). Kandungan materi pelajaran dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan yang masih bersifat dikotomis; yakni pemilahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum (sekuler), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.

Dari pendidikan Islam yang masih cenderung bersifat dikotomis yang selama ini terpisah secara diametral, yakni pendidikan yang hanya menekankan dimensi transendensi tanpa memberi ruang gerak pada aspek humanisasi dan liberasi dan pendidikan Islam yang hanya menekankan dimensi humanisasi dan liberasi dengan mengabaikan aspek transendensi. Dalam teori sosialnya Kuntowijoyo (alm) Ilmu Sosial Profetik.

PEMBAHASAN

Profetik berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi1. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan dan ketidakadilan. Dan mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Dan tepat menurut Ali Syari’ati “para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan”.

Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu -dalam rumusan Kunto- seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada2. Dia mengatakan: “saya kira keduanya tidak realistik dan akan membuat jiwa kita terbelah antara idealitas dan realitas, terutama bagi mereka yang belajar ilmu sosial barat. Bagaimana nasib ilmu yang belum di Islamkan? Bagaimana nasib Islam tanpa Ilmu?. Dengan ungkapan seperti ini, Kuntowijoyo tidak bermaksud menolak Islamisasi ilmu, tapi selain membedakan antara ilmu sosal profetik dengan Islamisasi Ilmu itu sendiri, juga bermaksud menghindarkan pandangan yang bersifat dikotomis dalam melihat ilmu-ilmu Islam dan bukan Islam.

Secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo (alm) didasarkan pada Surar Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Engkau adalah ummat terbaik yang diturunkan/dilahirkan di tengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”.

Terdapat tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yaitu; amar ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian memanusiakan manusia. nahi munkar (liberasi) mengandung pengertian pembebasan. dan tu’minuna bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia. Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat konsep; Pertama, konsep tentang ummat terbaik (The Chosen People), ummat Islam sebagai ummat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Ummat Islam tidak secara otomatis menjadi The Chosen People, karena ummat Islam dalam konsep The Chosen People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah. Bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah ummat manusia (ukhrijat Linnas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan ummat dalam percaturan sejarah. Pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan an sich tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan. Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran ummat, terutama ummat Islam. Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya) maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun kolektifitas (jama’ah, ummat, kelompok/paguyuban). Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya3.

Pendidikan Islam yang sekaligus sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional. Secara ideal, pendidikan Islam bertujuan melahirkan pribadi manusia seutuhnya. Dari itu, pendidikan Islam diarahkan untuk mengembangkan segenap potensi manusia seperti; fisik, akal, ruh dan hati4. Segenap potensi itu dioptimalkan untuk membangun kehidupan manusia yang meliputi aspek spiritual, intelektual, rasa sosial, imajinasi dan sebagainya. Rumusan ini merupakan acuan umum bagi pendidikan Islam, yang akhir tujuannya adalah pencapaian kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dalam pengertian yang lebih luas, pendidikan Islam ingin membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas ke-khalifahan-nya dan terus memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa batas serta menyadari pula betapa urgentnya ketaatan kepada Allah SWT sebagai Sang Maha Mengetahui dan Maha Segalanya. Dalam Surat Al-Baqarah disebutkan pada ayat: 269 yang artinya: ”Tidaklah berdzikir kecuali ulul albab”. Disini, ada proposional antara dzikir dan fikr dalam sebuah cita-cita pendidikan Islam. Artinya, hakikat cita-cita pendidikan Islam adalah melahirkan manusia-manusia beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang (S.S, Husein dan S.A, Ashraf: 1979).

Dalam mewujudkan cita-cita pendidikan Islam, muncul berbagai problematika dalam pendidikan Islam. Diantaranya krisis dalam pendidikan Islam karena muncul adanya Dikotomi epistemologi antara Ilmu agama (akhirat) dan ilmu umum (dunia), antara Ilmu modern barat dan Ilmu tradisional Islam. Selain itu, disebabkan pula oleh sistem pendidikan Islam yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan yang bersifat formal dan mengabaikan idealisme yang mencerminkan proses-proses pemenuhan tugas-tugas kemanusiaan. Indikasi tersebut cukup jelas, dengan terlihat munculnya dua tipologi pendidikan Islam yakni, Pendidikan Islam tradisional dan Pendidikan Islam modern.

Pada dasarnya tujuan umum pendidikan Islam, menurut Prof. M. Athiyah Al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan umum yang asasi. Diantaranya yaitu; Pertama. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia5. Bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Kedua, persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan diakhirat. Pendidikan Islam menaruh penuh untuk perhatian kehidupan tersebut, sebab memang itulah tujuan tertinggi dan terakhir pendidikan. Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Islam memandang, manusia sempurna tidak akan tercapai kecuali memadukan antara ilmu pengetahuan dan agama, atau mempunyai kepedulian (concern) pada aspek spiritual, akhlak dan pada segi-segi kemanfaatan. Keempat, menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan untuk mengkaji ilmu sekedar ilmu6. Kelima, menyiapkan pelajar dari segi profesional.

Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan mengandung pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu, starting point dari proses pendidikan berawal dari pemahaman teologis-filosofis tentang manusia, yang pada akhirnya manusia diperkenalkan akan keberadaan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Pendidikan yang berwawasan kemanusiaan tidak berpretensi menjadikan manusia sebagai sumber ikatan-ikatan nilai secara mutlak (antroposentris), karena di Eropa pada abad pertengahan menjadikan ilmu murni dan teknologi teistik justru membawa malapetaka di abad modern ini, dimana kepribadian manusia menjadi terpisah-pisah di dalam jeratan dogma materialisme yang mengaburkan nilai kemanusiaan. Padahal pendidikan itu sarat akan nilai dan harus berarsitektur atau landasan moral-transendensi.

Jika kegagalan pendidikan dalam rangka memaksimalkan peran profetiknya karena tidak dapat menempatkan manusia sebagai subjek pendidikan dalam setting teologis-filosofis. Jadi bukan sebagai objek pendidikan, yang menurut Paulo Freire dikatakan sebagai konsep bank7. Oleh karena itu, pendidikan harus kembali pada missi profetik, yaitu memanusiakan manusia (Humanisasi), berijtihad / pembebasan (liberasi), dan keimanan manusia (transendensi).

PENUTUP

Pendidikan pada hakekatnya merupakan pross memanusiakan manusia (humanizing human being). Karena itu, semua treatment yang ada dalam praktek pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah, sebagai mahkluk individu yang khas, dan sebagai mahluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Namun demikian, dalam realitasnya banyak praktek pendidikan yang tidak sesuai dengan missi tersebut.

Kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, mekanis, verbalis, kognitif dan misi pendidikan telah misleading. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Pendidikan (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan interpretasi dan reorientasi, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan.

Pendidikan harus dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya. Dengan pengertian ini, semua proses yang menuju pada terwujudnya optimalisasi potensi manusia, tanpa memandang tempat dan waktu, dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan. Sebaliknya, jika ada praktek yang katanya disebut pendidikan ternyata justru menghambat berkembangnya potensi kemanusiaan dengan berbagai bentuknya, maka ini justru bukan praktek pendidikan. Hanya saja, harus disadari bahwa memang ada perbedaan metode atau strategi antara satu dengan lainnya, namun mestinya perbedaan tersebut hanya sebatas teknis pelaksanaan, bukan pemaknaan tentang pendidikan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

  • Rosyadi Khoiron, “Pendidikan Profetik”, Pustaka Pelajar, Cet. I, 2004, Yogyakarta

  • Shofan Mohammad “Pendidikan Berparadigma Profetik (Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam)”, IRCiSoD bekerjasama dengan UMG Press, Cet. I , 2004, Yogyakarta

  • Kuntowijoyo (Alm), “Muslim Tanpa Masjid”, Bandung: Mizan, 2001

  • Banawi Imam, “Segi-segi Pendidikan Islam”, Al-Ikhlas, 1987, Surabaya

1 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, 2001 hal.357

2 Moh. Shofan, “Pendidikan Berparadigma Profetik (Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam )”, IRCiSoD, Yogyakarta, Hal.131

3 Ibid, hal.365

4 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hal.04

5 Al-Ghazali mengatakan: tujuam murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya. (Al-Ghazali, MIzanul amal 1961). Dikutip dari Zainuddin, Seluk beluk Pendidikan dari al-ghazali, jakarta,1991, hal.44

6 Al-Ghazali mengatakan: apabila engkau mengadakan penyelidikan terhadap ilmu engetahuan, maka engau akan melihat kelezatan padanya. Oleh karena itu, tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri (Al-Ghazali, ihya’Ulumiddin I:13),. Pernyataan itu menyiratkan kesan bahwa penelitian, penalaran, dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran (Ijtihad) adalah mengandung kelezatan intelektual kepada mereka dalam mencari hakikat ilmu pengetahuan. Ibid, hal.42

7 Paulo Freire, “Pendidikan Kaum Tertindas”, Cet. 2 LP3ES, Jakarta, 1991, hal.49


Sebuah Dinamika Penggerak Menuju Pelantikan

Juni 30, 2008

KM3 adalah sebuah nama yang kadang bisa juga di buat guyon, ada yang mengatakan KM3 itu singkatan dari kilo meter tiga, ada yang lebih estrim lagi dengan menamai KM3 dengan sebutan korp mahasiswa mencla-mencle, apa artinya? orang Jawa pasti tahu artinya. Tapi semua itu hanyalah guyonan bahkan itu adalah sapaan dan simbol keakraban dari teman-teman sendiri.

KM3 masih dalam status yang membingungkan dikalangan teman-teman yang lain terutama teman-teman IMM, mereka mempertanyakan status KM3. Jangankan teman-teman yang lain, teman-teman anggota kepengurusan KM3 sendiripun masih banyak yang bertanya status KM3 sendiri. KM3 Itu ortom atau hanya sekedar bentuk komunitas dakwah yang membutuhkan sebuah wadah? Banyak sekali frame yang berbeda tentang status KM3 itu sendiri.

Kalau kita membicarakan soal status KM3 di Muhammadiyah, memang belum jelas, tapi yang bisa sedikit dijelaskan disini hanya KM3 adalah follow up dari Pelatihan Nasional Mubaligh Mahasiswa Muhammadiyah yang setiap tahunnya diadakan oleh Majalis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, terus bagaimana kedudukannya di muhammadiyah?

KM3 bukanlah ortom tapi KM3 selama ini adalah pembantu bapak-bapak MTDK PP Muhammadiyah untuk menjalankan roda dakwah, yang lebih kongkrit adalah membantu MTDK dalam melaksanakan dan mengadakan Pelatihan Nasional Mubaligh Mahasiswa Muhammadiyah. Selama ini 4 tahun ini, karena Pelatihan Mubaligh Mahasiswa Muhammadiyah baru dilaksanakan 6 kali, terakhir dilaksanakan di Makasar dan Bengkulu.

Anggota KM3 kebanyakkan dari teman-teman IMM dari berbagai PTM dan PTN yang ada di Jogjakarta, Anggota KM3 Jogjakarta merupakan alumni Pelatihan Mubaligh yang diadakan oleh MTDK PP Muhammadiyah dan juga ada beberapa teman-teman IMM yang tertarik untuk berpartisipasi dan masuk sebagai anggota cultural KM3 karena mereka masih belum mengikuti pelatihan mubaligh, oleh karena itu mereka disebut sebagai anggota cultural. tapi kami tidak membedakan antara yang sudah atau yang belum mengikuti pelatihan mubaligh, karena kami yakin teman-teman yang mau bergabung bersama KM3 mempunyai jiwa dakwah yang tinggi dan mau berjuang di Muhammadiyah khsususnya dan untuk umat Islam pada umumnya. Dengan masuk sebagai anggota KM3 bukan berarti anggota KM3 tidak aktif lagi dalam IMM, tapi dengan adanya KM3 dirasa dapat membangun tali silaturrohim antara anggota IMM seluruh Jogjakarta dalam bidang dakwah.

Oleh karena itu, untuk melegalkan dan memperjelas susunan struktural pengurus KM3 yang ada di jogjakarta, pengurus KM3 Jogjakarta merasa perlu diadakannya sebuah pelantikan kepengurusan. Kegiatan ini insya Allah akan diadakan pada hari Sabtu, 5 Juli 2008, pukul 09.00 di Gedung PP Muhammadiyah Jl.Cik Ditiro. Selain kegiatan pelantikan, pada hari yang sama juga akan diadakan pembahasan mengenai deklarasi KM3 serta program kerja KM3 per bidang. Pengurus KM3 akan dilantik oleh Bapak – bapak MTDK PP Muhammadiyah. Acara pelantikan ini akan turut mengundang IMM Cabang se-DIY, Korkom, DPD IMM serta perwakilan IRM Wilayah. Diwajibkan untuk seluruh anggota KM3 untuk hadir dalam pelantikan ini.