Kamis, 08 Januari 2009

RUU Badan Hukum Pendidikan

RUU BHP Disahkan

Kamis, 18 Desember 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Sidang Paripurna DPR tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan menjadi undang-undang di DPR, Jakarta, Rabu (17/12), berlangsung ricuh. Peristiwa itu dipicu penolakan mahasiswa yang ikut menghadiri sidang.

Kericuhan dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar itu berlangsung saat acara pembacaan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR. Penolakan yang diserukan mahasiswa dalam ruang sidang itu membuat petugas dalam (pamdal) DPR mengamankan mahasiswa.

Para mahasiswa pun dengan paksa digiring petugas pamdal ke luar ruang sidang. Sempat terjadi saling dorong dan pukul antara pamdal dan mahasiswa.

Di depan Gedung Nusantara II, puluhan mahasiswa Universitas Indonesia membentuk lingkaran dan memaksa masuk kembali dan akhirnya saling dorong dengan polisi.

Sejumlah mahasiswa terdengar menjerit dan menangis sambil menyuarakan penolakan pengesahan UU BHP. Unjuk rasa para mahasiswa di dalam halaman dan di luar pagar Gedung DPR itu berlangsung hingga sore hari.

Mahasiswa menilai pengesahan RUU BHP menjadi UU merupakan upaya komersialisasi pendidikan. Akibatnya, pendidikan akan semakin mahal dan membebani masyarakat, terutama dari kalangan tidak mampu.

Mahasiswa juga memprotes ketentuan dalam UU BHP soal pembubaran badan hukum pendidikan, yang salah satunya karena dinyatakan pailit. Ini dinilai sebagai bukti sekolah akan dikelola seperti perusahaan.

Sementara itu, Aliansi Rakyat Tolak BHP menolak dengan alasan UU BHP menggunakan pendekatan ekonomi pasar bebas yang menganalogikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi. Pemerintah dinilai hendak melepaskan tanggung jawab untuk memenuhi hak warga negara atas pendidikan.

Melindungi masyarakat

Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno membantah anggapan, UU BHP akan membuat pendidikan di Indonesia menjadi semakin tidak terjangkau. Peraturan ini justru diyakini bisa memberi perlindungan pada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi.

Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, seusai sidang, mengatakan, masyarakat harus memahami semangat penyusunan BHP. Soal pendanaan pendidikan, justru pemerintah dituntut berperan besar.

”Pemahaman yang keliru ini mungkin karena masyarakat melihat praktik di perguruan tinggi badan hukum milik negara (BHMN), yang biaya kuliahnya jadi mahal. Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional,” ujar Fasli.

Adapun untuk warga tidak mampu, kata Fasli, justru semakin terlindungi. Ada kewajiban dari BHP dan pemerintah untuk menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit pendidikan mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Selain itu, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) Wilayah Jabar-Banten Didi Turmudzi, Rabu (17/12), menyesalkan tergesa-gesanya pengesahan UU BHP tanpa berusaha menyelesaikan lebih dahulu polemik yang muncul di permukaan. Substansi UU BHP, di dalam implementasinya, bisa menimbulkan persoalan baru di dunia pendidikan. (ELN/JON)