Minggu, 11 Januari 2009

Revitalisasi Peran Remaja Sebagai Subyek Perubahan

Perubahan yang serba cepat di sekitar kita akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah tatanan hidup yang lebih global baik fisik maupun psikis. Kemajuan tersebut ternyata tidak hanya berdampak positif seperti yang diharapkan dalam memajukan kesejahteraan hidup manusia, tetapi semakin tidak terkendali dan kompleks seperti ekses polusi dari teknologi, ekses pengangguran dari pengalihan tenaga manusia ke mesin, dan semakin langkanya sumber daya manusia yang turut memojokkan manusia dalam kompetisi global tersebut. Tidak hanya satu aspek saja yang berubah, melainkan seluruh komponen yang ada dalam kehidupan manusia turut berubah. Perekonomian menuntut bangsa Indonesia mampu bersaing di pasar bebas, yang otomatis menuntut meningkatnya kualitas sumber daya manusia.
Untuk mendapatkan kualitas SDM yang kompetible lembaga pendidikan saling berpacu untuk menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas secara akademisi. Ketika lulus harus bersaing mendapatkan kerja atau berkarier, untuk dapat bersaing dilapangan pekerjaan ada tuntutan yang harus kita penuhi lagi yaitu skill of job. Kemampuan kita dalam menguasai pekerjaan yang diberikan merupakan tanggung-jawab yang menuntut kita memiliki kemampuan yang handal dan unggul.
Remaja adalah salah satu yang mendapat imbas dari perubahan tersebut. Bagi mereka yang tidak mampu bersaing akan terlempar dari pertarungan hidup. Remaja merupakan salah satu aset peradaban bangsa yang sangat potensial untuk mengusung perubahan zaman dimasa datang, sehingga dengan membangun dan membumikan kesadaran kritis, menciptakan tradisi ilmiah yang obyektif dengan penguasaan teknologi tepat guna serta mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dan spiritualitas remaja, berarti kita telah menanamkan investasi jangka panjang untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Membicarakan remaja seperti tidak ada habis-habisnya. Baik membicarakan remaja sebagai aktor, pelaku atau sebagai subyek maupun membicarakan remaja sebagai obyek, sebagai sasaran. Atau dalam bahasa Arabnya, membicarakan remaja sebagai fa’il sama asyiknya dengan membicarakan remaja sebagai maf’ul. Hanya sayangnya remaja selama ini sering diposisikan dan dipahami sebagai masalah (problem). Posisinya sebagai potensi dan bagian dari solusi sering tenggelam atau ditenggelamkan ditengah wacana tentang remaja dan narkoba, remaja dan kebebasan seks, remaja dan tawuran, remaja dan tindak kejahatan atau tindak huru-hara dan remaja biang tindak asosial lainnya.
Pembicaraan remaja sebagai masalah seringkali dibesar-besarkan dari pada pemberitaan remaja sebagai potensi dan sebagai bagian dari solusi. Oleh karena itu opini yang terbentuk, citra yang terbayangkan dan wacana yang berkembang adalah remaja hanyalah menjadi beban bagi semua lingkungan sosial. Beban bagi lingkungan keluarga (perilaku menyimpang), beban bagi lingkungan sekolah (suka melawan dan melakukan pemberontakan simbolik maupun aktual) dan juga beban bagi lingkungan masyarakatnya (melakukan tindak kriminal secara kolektif dan indiviual). Itulah remaja yang kita kenal dan dikenalkan oleh media massa.
Bombardir isu dan pemberitaan seperti itu sesungguhnya menyesatkan. Sebab kenyataan, remaja justru banyak yang menyadari dan yakin bahwa dirinya adalah potensi positif dari masyarakatnya. Mereka bergabung dalam kelompok kajian, kelompok kreatif dan kelompok pengembangan kehidupan beragama, jelas mampu memposisikan diri mereka sebagai potensi. Selain itu banyak pula remaja yang mampu menghadirkan dirinya sebagai bagian dari solusi atas masalah-masalah sosial, budaya, ekonomi dan politik yang terjadi dilevel masyarakat maupun negara. Para remaja yang kritis biasanya mampu menempatkan diri sebagai bagian dari solusi itu.
Dalam kenyataan sekarang, sangat banyak remaja menyadari dirinya sebagai potensi dan sebagai bagian dari solusi. Untuk itu mereka membuktikan diri lewat berbagai prestasi. Prestasi belajar, prestasi menulis, prestasi olah seni dan ekspresi kreatif lainnya atau prestasi penelitian yang kemudian dilombakan dalam lomba karya ilmiah remaja, juga prestasi yang mengembangkan keterampilan beragama dan dalam memperluas serta memperdalam ilmu agama. Tentu saja semua tidak menafikkan bahwa sekarang ini para remaja memang sarat dengan problema.
Ada juga yang menjadi pelampiasan otoriter dari golongan tua atau orang tuanya sendiri, sikap kekerasan dan doktrin orang tua pada anak remaja. Hal ini merupakan kejahatan bagi orang tua terhadap anak atu remaja. Mereka juga tidak pernah dilibatkan sebagai subyek perubahan sosial. Cara kita untuk memperlakukan remaja harus mulai dirubah, remaja harus ditempatkan sebagai subyek perubahan sosial. Karena itu negara harus mendukung dan memfasilitasi aktifitas remaja melalui organisasi-organisasi remaja. Jadi organisasi remaja sebenarnya harus dilibatkan untuk mendukung kekuatan sosial politik, budaya dan kekuatan penggerak perubahan sosial.
Secara struktural dan secara konsepsional, karena kita sudah meratifikasi konvensi hak anak atau remaja, maka Indonesia sudah mengikatkan diri dalam konvensi PBB tentang hak anak, maka sudah waktunya para remaja dilibatkan untuk mengawasi apakah hak asasi mereka, hak ikut dalam menentukan arah bangsa ini dilanggar oleh negara atau tidak. Sayangnya negara ini tidak pernah rela remaja memahami dan mempunyai kesadaran kritis tentang politik, tentang budayanya, padahal itu merupakan kewajiban negara dalam melindungi hak-hak remaja untuk mengembangkan diri secara fungsional. Tetapi secara budaya, kita masih mewarisi budaya feodal, orang tua itu harus dihormati, harus dijunjung, anak atau remaja harus taat dan mengikuti kehendak orang tua. Budaya ini sangat menghambat berkembangnya organisasi-organisasi remaja. Dan kelihatannya baik secara politik maupun secara budaya, itu tidak pernah diberikan ruang untuk berkembang. Padahal ruang untuk remaja itu adalah hak mereka.
Karena orang tua tidak pernah memberikan ruang bagi mereka, maka anak atau remaja harus merebutnya. Dan saat ini kita harus menyiapkan organisasi-organisasi remaja untuk memahami hak-hak anak dan remaja. Tanpa pendidikan hak asasi untuk remaja, mereka tidak pernah tahu haknya dan mereka membiarkan pelanggaran itu. Pendidikan HAM untuk anak dan remaja bisa menghindari pelanggaran hak asasi remaja, mereka bisa menuntut pada orang tua mereka, sekolah mereka, lembaga pendidikan mereka untuk mengembalikan hak mereka sebagai remaja.
Kita harus bangun dari kesadaran kritis, remaja sebagai manusia dan hak-hak yang melekat pada remaja tidak boleh diambil oleh siapapun, termasuk negara dan organisasi induknya serta orang tua mereka. Untuk itu remaja harus memahami bentuk-bentuk pelanggaran haknya, dan ini harus menggunakan organisasi remaja sebagai payung atau perisai untuk mempertahankan hak asasi remaja. Dengan cara ini kita mampu menenggelamkan feodalisme yang melekat pada orang tua mereka, pada sekolah, dan feodalisme yang melekat pada negara. Jadi sekarang sudah waktunya remaja merebut wilayah hak-hak remaja yang telah lama disembunyikan. Kalau mereka tidak terlibat dalam resolusi konflik remaja sendiri, maka tidak ada jaminan bahwa konflik remaja tidak pernah akan selesai sampai hari ini. Tapi remaja sebagai bagian dari masyarakat, maka tidak ada alasan untuk tidak melibatkan mereka dalam memahami persoalan konflik dan ikut memecahkan persoalan yang dihadapi oleh remaja.
Kita harus memiliki kepercayaan yang mendasar bahwa remaja sebagai manusia memiliki agenda dalam proses dehumanisasi dalam sistem sosial, budaya dan politik global maupun nasional. Tanpa keterlibatan mereka dalam masalah-masalah dehumanisasi dan penindasan kebudayaan, ini merupakan salah besar karena nantinya akan menjadi bom waktu. Ketika remaja nanti dewasa akan menjadi masalah besar. Jadi, kalau kita tidak melibatkan dalam masalah umat dan bangsa maka itu sebenarnya akan menjadi masalah sosial dimasa mendatang. Karena kita berdosa ikut melanggengkan ketidakadilan sistemik dan ini namanya bunuh diri masal.
Dengan melihat fenomena diatas, maka masa depan oganisasi pelajar dan remaja di indonesia ada pada remaja itu sendiri. Biarkan remaja menentukan masa depan mereka sendiri dan sebenarnya remaja bisa membentuk karakternya yang sejati dan menjadi mausia yang kritis terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, budaya dan politik bangsa ini. Remaja dimasa datang adalah remaja yang bisa membongkar belenggu-belenggu yang diciptakan oleh orang tua, lembaga, organisasi dan negara. Remaja harus mulai menentukan sikap alternatif terhadap fungsi kehidupan negara ini yang lebih manusiawi, lebih memahami perbedaan, dan bisa membebaskan manusia dari sikap ketidakadilan yang semena-mena.