Jumat, 23 Januari 2009

Islam Agama Anti Penindasan

“Islam Agama Anti Penindasan”

Desember 17, 2008

ISLAM AGAMA ANTI PENINDASAN1
Oleh: Saiful Azhar Aziz2

Pada dasarnya, semua agama tidak diturunkan dalam ruang hampa, agama diadakan sebagai rahmat untuk semesta alam. Agama dilahirkan untuk menertibkan chaos dan kekacauan yang diproduk manusia. Dalam bahasa lain, semua aturan dan syariat itu diturunkan untuk membawa manusia dari dunia gelap ke dunia terang. Dari peradaban jahiliyah ke peradaban insaniyyah.3
Kalau lebih dicermati, dalam catatan sejarah, semua agama dan juga semua Nabi selalu menjadi musuh suatu peradaban kemungkaran. Dengan alasan apapun, peradaban yang meminggirkan dan menindas sesama selalu akan dimusuhi oleh Tuhan dan para Nabi-Nya. Seluruh pemeluk Islam yakin, kalau kedatangan Muhammad sebagai Nabi adalah untuk membela dan membebaskan kaum-kaum tertindas. Dia selalu menjadi harapan dan pelindung kaum fakir, kaaum miskin, anak-anak yatim, perempuan janda yang terusir, dan juga para budak yang dianiaya tuannya. Islam dan Muhammad adalah sahabat sekaligus penolong kaum mustad’afin, kaum yang lemah secara sosial ekonomi maupun kaum yang dilemahkan oleh sistem sosial yang mungkar dan tidak adil.
Bila kita amati bersama, bagaimana roda zaman telah kembali. Ketika Islam jatuh bangun mempertahankan eksistensinya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. pada fase tersebut, keterpurukan secara mental menimpa bangsa jahiliyah ketika itu dan berubah menjadi bangsa yang disegani dengan kedatangan utusan-Nya hingga khulafaur rasyidin. Namun, kita bisa melihat sendiri, bagaimana keadaan umat Islam saat ini berada di sudut peradaban. Mengapa demikian?. Mari kita bertanya pada AlQur’an, “Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian,

1 Dibuat sebagai syarat mengikuti Latihan Kepemimpinan Mahasiswa Kader Bangsa yang diselenggarakan oleh BEM UAD pada tanggal 30 april-2 mei 2008.
2 Penulis adalah Gubernur BEMF. Psikologi UAD 07-08; Kabid. Kader IMM KomFak. Psikologi UAD 07-08; Koor. Dakwah KM3 Yogyakarta 07-08.
3 Kumpulan Makalah Seminar Nasional Agama dan Kemungkaran Sosial; “mengajak agama membicarakan kaum New-mustad’afin” di Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta pada tanggal 26 april 2008.


kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran” (QS. Al-‘Asr: 1-3). Secara konseptual, nilai-nilai ketuhanan telah banyak diingkari oleh umat Islam saat ini, dimana rezim yang berkuasa dan rakyat meronta-ronta mengusung makna ‘penindasan’. Ketika keimanan, kebajikan, kebenaran, dan kesabaran sudah menjadi ‘barang bekas’, banyak ditinggalkan. Maka, apa yang terjadi, kekurangan dimana-mana. Para pemimpin bangsa ini merasa sudah memberikan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya kepada rakyatnya, begitu pula para rakyat ‘proletar’ berteriak, bahwa para pemimpin negeri ini tidak pernah memberikan hak-hak nya sebagai warga Negara, tidak ada konsep memanusiakan manusia, yang ada hanya pahala-pahala politik semata. Dengan demikian, menimbulkan berbagai masalah yang tak ada henti-hentinya. Apa yang bisa kita lakukan?, bertindak ataukah berbicara?.
Bukan maksud saya untuk mengatakan, bahwa sekarang ini bukan waktunya untuk bertindak dan bekerja, sebab berbicara dan bertindak, menganalisa dan mengamalkan harus erat bergandengan. Inilah praktik Rosul. Beliau tidak pernah memisahkan kehidupan menjadi dua, bagian-bagian pertama khusus untuk berbicara dan bagian kedua khusus untuk bertindak. Maka sungguh naïf mereka yang menyatakan, bahwa “kita telah cukup banyak berbicara dan bahwa sekarang adalah waktunya untuk bertindak”.
Tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual kita memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Kita harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apapun bidang studinya kita harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai bidang masing-masing. Karena Islam mempunyai berbagai dimensi dari aspek maka setiap orang bisa menemukan sudut pandang yang paling tepat sesuai dengan bidangnya.4
Salah satu contoh terdapat dalam kesetaraan gender dalam peran publik, dalam diskursus feminisme dikenal istilah peran domestik dan publik. Yang pertama, berarti peran perempuan dalam rumah tangga, baik sebagai isteri maupun ibu.

4. Paradigma Kaum Tertindas, Ali Syari’ati. 2001, Islamic Center Al-Huda

Peran ini biasa disebut dengan sebutan ibu rumah tangga. Sedangkan yang kedua berarti peran perempuan di masyarakat, baik dalam rangka mencari nafkah maupun aktualisasi diri dalam berbagai aspek kehidupan; sosial-politik-ekonomi-pendidikan-dakwah dan lain sebagainya.5
Dalam konteks kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, pertanyaannya adalah apakah perempuan diizinkan mengambil peran publik sebagaimana halnya laki-laki, atau peran perempuan dibatasi di dalam rumah tangga semata, atau paling kurang dibatasi sehingga ada peran-peran tertentu tidak boleh dimainkan oleh perempuan sebagaimana halnya laki-laki?.
Hal ini menjadi perbincangan yang menarik ketika substansi keadilan tidak didapatkan oleh kedua belah pihak, yaitu laki-laki dan perempuan. Secara biologis memang kedua makhluk ini sangat berbeda, dimana dominasi kelemahan terdapat pada kaum perempuan. Hal tersebut yang menjadi bulan-bulanan kaum laki-laki yang terlihat lebih kuat dibanding perempuan untuk melakukan segala aktfitas penindasan, entah secara fisik, mental maupun peran publik. Kaum perempuan merasa, sabotase kaum laki-laki sudah berlebihan dengan tidak memberikan ruang-ruang kreatifitas dan aktifitas yang setara dengan kaum laki-laki, bahkan pengelolaan tampuk kepemimpinan pun perlu adanya keterlibatan kaum perempuan di dalamnya hingga posisi-posisi strategis pada hierarki kekuasaan.
DR. Nasaruddin Umar, MA. Dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an berpendapat bahwa, ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar menaganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam AlQur’an. Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut:6
1. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba.
(QS. Az-Zaariyaat 51:56), (QS. Al-Hujuraat 49:13), (QS. An-Nahl 16:97)

5 Kesetaraan gender dalam Alquran, DR. H. Yunahar Ilyas, Lc. MA. Labda Press. YK 2006
6 DR. Nasaruddin Umar, MA. Dalam bukunya halaman 247-264 dan makalah Dr. Siti Syamsiyatun pada Seminar Nasional Agama dan Kemungkaran Sosial “mengajak agama membicarakan kaum new-mustad’afin di Gedung PP. Muhammadiyah Yogyakarta pada tgl 26 april 2008.


2. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba.
(QS. Az-Zaariyaat 51:56), (QS. Al-Hujuraat 49:13), (QS. An-Nahl 16:97)
3. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi.
(QS. Al-An’am 6:165), (QS. Al-Baqarah 2:30)
4. Ruh semua laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial untuk mengakui Allah sebagai Rabb.
(QS. Al-A’raf 7:172), (QS. Al-Isra’ 17:70), (QS. Al-Ma’idah 5:89), (QS. Al-Mumtahanah 60:12)
5. Adam dan hawa yang mempresentasikan manusia laki-laki dan perempuan terlibat dalam drama kosmis turunnya mereka dari surga menuju ke bumi.
(QS. Al-Baqarah 2:35), (QS. Al-A’raf 7:20-23), (QS. Al-Baqarah 2:187)
6. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.
(QS. Ali-Imran 3:195), (QS. An-Nisa’ 4:124), (QS. An-Nahl 16:97), (QS. Ghaafir 40:40)

Pada zaman Muhammad yang kemudian menjadi Nabi dan Rosul SAW, Islam datang membawa pencerahan kepada masyarakat jahiliyah. Pada saat itu, perempuan tak jauh beda dengan barang dagangan yang diperjualbelikan, perzinahan disana-sini, penindasan hak-hak perempuan sangat kental terjadi, mulai dari pendidikan, militer, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Anak yang lahir perempuan merupakan aib yang sangat nyata bagi masyarakat jahiliyah ketika itu. Namun bagaimana Islam datang membawa suatu perubahan yang sangat monumental. Hak-hak perempuan diangkat, harkat martabat sebagi perempuan serta harga diri sebagai perempuan dimuliakan dengan berbagai aturan-aturan yang menjadikan betapa pentingnya kehadiran perempuan di muka bumi ini.
Salah satu cara untuk mengatasi hal semacam itu, Islam dengan berani mengimplementasikannya ke dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai-Nilai Kemanusiaan, yaitu: ilmu, amal, kebebasan, dan keadilan.8

8 Sistem masyarakat Islam dalam AlQuran dan sunnah, DR Yusuf Qardhawi, 1997. Maktabah Wahbah Cairo. Mesir

Ilmu merupakan salah satu nilai yang luhur yang dibawa Islam dan yang tegak di atasnya kehidupan manusia baik secara moril maupun materiil, duniawi maupun ukhrawi. Islam menjadikannya sebagai jalan menuju keimanan dan yang memotivasi amal. Sekaligus karunia (ilmu) ini pula yang membuat, manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Karena dengan ilmu tersebut, Adam sebagai bapak manusia diberi kelebihan atas malaikat (dan makhluk lainnya) yang sempat penasaran sehingga mempermasalahkan pemberian amanah ini. Dengan alasan bahwa mereka (para malikat) lebih berbakti beribadah kepada Allah daripada manusia yang suka membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah.
Sesungguhnya Islam adalah agama ilmu, dan AlQuran adalah kitab ilmu. Ayat-ayat AlQuran yang pertama kali turun kepada Rosulullah SAW adalah “Iqra’ bismi Robbikal ladzii khalaq”. Mambaca adalah kunci untuk memahami ilmu, dan AlQuran merupakan “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa arab, untuk kaum yang berilmu.” (Fushshilat:3). AlQuran telah menjadikan ilmu sebagai asas dan standar kemuliaan antara manusia. Allah SWT berfirman:
“Apakah sama orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu.” (Az Zumar: 9).
AlQuran telah menjadikan ilmu sebagai asas dan standar kemuliaan antara manusia. Allah SWT berfirman:
“Apakah sama orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu.” (Az Zumar: 9).
Ilmu salah satu solusi yang tepat untuk meminimalisir terjadinya bentuk-bentuk penindasan dalam skala yang lebih konkret. Ketika seseorang memiliki kapasitas pengetahuan yang cukup untuk melihat adanya suatu ketidakadilan, maka individu tersebut akan mengerahkan energi-energi secara psikis maupun fisik sebagai bentuk perlawanan terhadap sesuatu yang menekan dirinya. Islam sebagai agama ilmu, menjawab persoalan itu. Bagaimana ilmu dijadikan sebuah standar kebebasan seseorang untuk mengaktualisasikan kreatifitas dan aktifitasnya dalam berinteraksi dengan masyarakat, keluarga, dan interaksi dengan dirinya maupun Tuhannya. Kemudian, apa yang terjadi sesungguhnya?. Ketertindasan seseorang merupakan kebalikan dari keberdayaan seseorang dalam melihat fenomena yang ada pada dirinya maupun lingkungan disekitarnya. Keterkungkungan pola pikir dan terbelenggunya daya gerak manusia adalah salah satu indikasi telah terjadinya suatu bentuk penindasan. Dengan ilmulah itu itu semua dapat dibebaskan.
Amal adalah buah ilmu, amal juga merupakan buah keimanan yang benar, karena tidak mungkin ada keimanan tanpa amal. Ketika ilmu sudah menjadi pijakan riil dalam bergerak dan berkarya, maka pohon akan sangat bermanfaat disaat buahnya dapat dirasakan oleh orang yang ada disekitarnya. Oleh karena itu, pengamalan ilmu sangat diperlukan sebagai implikasi dari kebebasan seseorang yang kemudian diimplementasikan ke dalam nilai-nilai kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Seorang mahasiswa ketika melihat suatu fenomena sosial yang merugikan secara personal maupun lingkup masyarakat yang lebih luas, dengan pengetahuan tersebut ia sosialisasikan ke dalam bentuk pemahaman pola pikir masyarakat setempat. Kemudian melakukan penelitian lebih jauh dengan apa yang telah terjadi dalam suatu kebijakan-kebijakan pemerintah yang dilihat terdapat bentuk-bentuk pengekangan hak-hak kemasyarakatan, itu semua menelurkan kesadaran masyarakat yang akhirnya penolakan dan perlawanan disana sini untuk mendapatkan keadilan. Itulah amal, ketika ilmu sudah menjadi amal, maka akan sangat bermafaat bagi orang-orang disekitarnya.
Diantara nilai-nilai kemanusiaan yang juga sangat diperhatikan oleh Islam adalah “kebebasan”, yang dengannya dapat menyelamatkan manusia dari segala bentuk tekanan, paksaan, kediktatoran, dan penjajahan. Kebebasan disini meliputi: kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan berpolitik, kebebasan madaniyah (bertempat tinggal) dan segala bentuk kebebasan yang hakiki dalam kebenaran.
Adil (keadilan), apa itu adil?. Yang dinamakan adil ialah proporsional, di dalamnya terdapat porsi-porsi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dalam satu keluaraga, dimana terdapat tiga orang anak dengan tingkat pendidikan yang berbeda, mulai dari TK, SD, dan SMP. Dalam persoalan sederhana saja, yaitu pengeluaran kebutuhan sekolah, entah itu persoalan seragam, jajan, alat tulis, buku paket, privat dan lain sebagainya.. Orangtua yang adil, yaitu memberikan kebutuhan pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Apabila keadilan itu diartikan sebagai suatu yang harus sama dan seimbang. Maka, keadilan itu justru menyengsarakan anak tersebut. Mengapa?, apabila orangtua mereka memberikan dana yang sama, semisal mereka seribu rupiah (sama semua). Maka keadilan tersebut tidak didapatkan oleh masing-masing anak. Karena memang kebutuhan mereka berbeda-beda. Namun, ketika kebutuhan itu dipenuhi sesuai porsi masing-masing anak, maka penggunaannya akan sangat efektif dan bermanfaat.
Islam dalam perspektif merupakan agama anti dalam segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Islam sebagai rahmatan lil ‘alaamin mampu mengakomodir segala bentuk perbedaan dan mampu menjadi solusi tepat dalam berbicara maupun bertindak. Wallaahu ‘alam bisshawwab

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Y. 2006. Kesetaraan gender dalam AlQuran, Penerbit: Labda Press, Yogyakarta
Syari’ati, A.. 2001. Paradigma Kaum Tertindas, Penerbit: Islamic Center Al-Huda, Jakarta
Umar, N. 1999. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Penerbit: Paramadina, Jakarta
Qardhawi, Y. 1997, Sistem masyarakat Islam dalam AlQuran dan sunnah, Maktabah Wahbah Cairo, Mesir.